Jumat, 12 April 2013

Beginilah Cara Muslimah Eropa “Membalas” Demo Tanpa Baju di Depan Masji

Sejumlah aktivis perempuan FEMEN melakukan demonstrasi menentang Islam dengan bertelanjang dada di depan masjid dan kedutaan besar Tunisia di sejumlah negara Eropa, Kamis (4/5). Menanggapi demonstrasi kelas “rendah” itu, muslimah di Eropa dan Amerika Serikat (AS) membalasnya dengan cara yang cukup menyita perhatian dunia. Mereka memperkenalkan jilbab via kampanye online.

Berbeda dengan kampanye jilbab sebelumnya, kampanye yan digagas Sofia Ahmed ini lebih masif dalam memanfaatkan jejaring sosial. Mereka unggah foto para jilbaber berikut komentar mereka tentang jilbab.

Sofia mengatakan, satu kebanggaan tersendiri ketika bisa menunjukan jati diri sebagai muslimah. Kebanggaan ini sekaligus menjadi jawaban kepada mereka yang ingin menelanjangi identitas seorang muslimah.

"Mari kita tunjukan kepada dunia, kami menyayangkan FEMEN dan kampanye mereka di Barat," kata Sofia, dikutip Aljazeera, Sabtu (6/4).

Respon luar biasa langsung diterima sejak kampanye jilbab itu digelar. Sebagian mereka menilai FEMEN tidak tahu apa yang dikenakan seorang muslim. Mereka juga tidak tahu apa yang mereka tidak bisa pakai.

"Saya sangat bahagia dan bangga mengenakan jilbab," komentar Noor Firdosi.

Tak hanya mendapat respon dari kalangan Muslimah, komentar juga datang dari kalangan non-muslim. "Sebagai warga AS, saya malu dengan apa yang dilakukan FEMEN. Saya berharap, ini membuat kita peduli dengan apa yang dikenakan muslimah," kata Melody Church seperti dikutip Republika. [IK/Rpb/bsb]

Source: http://www.bersamadakwah.com/2013/04/beginilah-cara-muslimah-eropa-membalas.html

Minggu, 22 April 2012

Padangbulan Subuh


didedikasikan untuk adik-adik ukmi as-siyasah. Ayo isi blog ukmi dengan tulisan kreasi antum. Tidak usah berfikir apa yang mau saya tulis. Tulis saja… biarkan proses yang membentuk karakter tulisan antum :) seperti tulisan sederhana ini.
##
Sudah dua tahun lewat saya mondar-mandir di Padang Bulan, mulai dari kebiasaan abang becak yang  nangkring di kedai tuak, ibu-ibu yang all out dalam sesi-sesi gossip di kedai nasi, sampai kebiasaan tikus lewat melompati pagar masjid, semua itu terekam apik dalam bergiga-giga memori otak saya. Memori ini akan menguap dan hilang jika langkah saya sudah tidak lagi di sini, saya paham bahwa dalam akal waras manapun hal ini tidaklah penting untuk digoreskan menjadi sebuah tulisan. Tidak ada hal yang akan membuatnya menjadi sesuatu yang menarik untuk dibaca.
Namun, Subuh ini menjadi inspirasi bagi saya untuk melukiskannya. Walaupun saya sadar betul bahwa dalam kamus saya tidak pernah akrab dengan yang namanya sajak-sajak  dosis tinggi. Bagi saya, setiap keindahan larik dalam sajak-sajak hanyalah arak yang menghalusinasi manusia dari realita yang harus dihadapi. Setiap membuka mata di pagi hari, yang akan saya hadapi adalah realita, bukan lakon novel, syair, ataupun alur hidup yang seindah puisi para pujangga.
Bisa saja saya merupakan satu diantara seratus orang di sini yang berusaha berlomba dulu-duluan bersama sang fajar untuk menjumpai raja malam sebelum ia beranjak dari singgasananya. Maka dalam prespektif saya masih banyak anak adam dan hawa yang  belum tahu-menahu tentang Padangbulan Subuh. Itulah pentingnya saya bercerita.
Teringat dengan potongan puisi yang saya hafalkan saat SD “Di ufuk timur dia muncul….. burung-burung berkicau riang, berterbangan kian kemari….” Itulah indahnya pagi saat kehidupan berdenyut kembali. Padangbulan, saat azan subuh berkumandang, sejarahnya saat itulah geliat kehidupan bangkit dari peraduan malam. Saya tidak melihatnya di sini, untuk saat ini, hanya kaum renta yang selalu tampak sigap beribadah subuh di masjid kecil, disusul beberapa anak muda yang kelihatannya mahasiswa. Alhasil shaff sahalat pun tidak mencapai satu penuh.
Saya bahkan kesulitan mencari jejak para aktivis kampus dalam detik-detik itu, “entah mungkin karena ku terlena, pada semua yang Kau beri, padahal diriku terlalu sering, membuat Mu kecewa”  dari lirik nasyid itu mungkin saya mendapatkan sedikit jawabannya. Baiklah, perjuangan untuk negeri yang lebih baik itu, tidak dimulai dengan menduduki kursi eksekutif di kampus ataupun pemerintahan. Atau dari koar-koar kita di sebuah mushola dan menjadi manusia setengah merbot. Tidak juga dimulai dengan menyerang lokalisasi malam hari.
Saya bukan mengabaikan hal-hal besar itu, tapi hal kecil ini membawa efek yang terlau besar untuk dilupakan. “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” (Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan). Aktivis adalah orang-orang yang di depan, maka selayaknya memberi teladan buat manusia pada umumnya, dimulai dari menghidupkan subuh hari. Bukan bersembunyi dari fajar yang menyapa, tidak akan terulang lagi yang namanya kisah ashabul kahfi, pemuda yang dimulyakan karena tidurnya yang sangat lama.
##
Tanpa suara terlontar dari mulut seorang pun, tidak lagi tersadar untuk menyelamatkan tetangga, teman, bahkan saudara sekalipun. Ketika itu, tepat saat azan subuh dikumandangkan muazin masjid terdekat, asrama berlantai 4 menumpahkan seisinya yang masih tertidur pulas. Goyangan gempa itu mungkin adalah nasihat, tapi bisa jadi itu adalah peringatan keras buat kita. Kesadaran betul-betul hilang saat harus melewati tangga kecil yang rapuh dari lantai tiga. Berdesak-desakan dengan orang-orang yang sepertinya juga tengah kehilangan akal sehatnya, satu hal yang terpikirkan ketika itu, bagaimana menyelamatkan diri sendiri ke tempat yang aman.
Beberpa waktu lalu di kos-kosan saya terjadi kehilangan laptop dan telepon genggam, tepat beberapa saat setelah subuh, ada orang menyelinap masuk ke dalam kamar. Tidak jauh berselang beberapa hari dari waktu itu, dua orang berkendara mio dipergoki memasuki gang buntu, dua orang itu sudah jelas-jelas ingin mencuri kereta (red-motor, dalam bahasa saya), mereka berdua hampir dihakimi massa yang terbangun mendengan teriakan imam masjid saat meneriaki maling. Itu terjadi bada sahalat subuh juga.
Subuh di waktu yang lain, saya pulang dari masjid dan duduk di depan laptop. Suara pintu depan berdenyit dengan tiba-tiba, pertanda ada yang mendorongnya, saya tidak yakin, jam segini belum tampak tanda-tanda kehidupan. Bagaimana mungkin ada yang mendorong pintu yang susah didorong karena engselnya separuh berkarat. Kepala saya dikeluarkan pelan-pelan dari pintu kamar di paling pojok, benar saja, tampak sesosok menyerupai preman kampung. Celengak-celinguk ke kanan kiri, kamar paling depan pintunya terbuka, dan saya tahu betul orangnya sedang tertidur pulas.
Tidak tahu kenapa, emosi saya langsung membuncah, saya berteriak “woi… apa-apaan ini?” sontak sosok preman itu pura-pura mengetuk pintu, pertengkaran sengit pun terjadi. Si maling  kalang kabut, kelihatannya dia pura-pura tegar. ##Jujur di sini tidak seramah di tempat dimana saya dilahirkan, sebut saja ketika terjadi tabrakan sesama  pengendara motor, efeknya adalah cepat-cepatan minta maaf. Berbeda dengan di sini, besar-besaran suara, kalau tidak akan tergilas, itulah yang saya lakukan di subuh ini.
 #
Introgasi penuh emosional pun saya lakukan hingga maling itu terpojok, dia beralasan mau nanya kos-kosan, lalu saya bantah kenapa harus nyari kos-kosan jam segini. Ditambahi dengan menakut-nakuti bahwa kemarin ada orang seperti dia dipukuli di rumah sebelah.  Dia pun makin bingung, namun melihat saya cuma sendiri dari tadi, dia menjadi berani, hanya satu teman kos yang akhirnya terbangun dan datang ke Tempat Kejadian Perkara, selabihnya masih pulas. Saya mati langkah mau diapakan ini orang, akhirnya saya putuskan memeriksa KTPnya lalu di suruh pergi.
Subuh, harusnya adalah detik-detik indah dikala insan bermunajat pada sang penguasa hati dan perasaan. Padangbulan berkata lain, ketika insan itu tiada lagi peduli, giliran kaki tangan iblis yang berkreasi menyesatkan manusia. Bukan tak sedikit kejadian buruk terjadi di subuh hari, beberapa waktu lalu saya menemani rekan yang mendapat telepon subuh-subuh, katanya tetangga ada yang diintai maling.  Tapi kita masih saja terlelap.
@@@
Bangunlah….!!! Bangunlah wahai pemuda, Bangun dan buanglah kemalasan. Bangkitlah!!!  bangkitlah dan tinggalkan tidur panjang. Negeri sudah menanti, rakyat sedang berharap…  Berharap pada pemudanya yang tahu akan hakikat dirinya. Jauhkanlah lambungmu dari ranjang saat azan subuh berkumandang, tantanglah sang fajar untuk berlomba menerangi seisi bumi. Engkau adalah matahari di siang hari, yang memberikan pengidupan kepada seluruh mahluk, bukan magma di inti bumi yang hanya membawa kehancuran.
Ini bukan kata-kata yang baru keluar dari mulut saya, Allah telah berfirman dalam Alquran surat Al-Mudattsir:
Wahai orang-orang yang berselimut!
Bangunlah, lalu berilah peringatan!
Dan agungkanlah Tuhanmu,
Dan bersihkanlah pakaianmu,
Dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji,
Dan janganlah engkau (Muhammad) memberi dengan maksud memperoleh (balasan) yang lebih banyak.
Dan karena Tuhanmu, bersabarlah,
Maka apabila sangkakala ditiup,
Maka itulah hari yang serba sulit,
Bagi orang-orang kafir tidak mudah.
Biarkan Aku (yang bertindak) terhadap orang yang Aku sendiri telah menciptakannya
#Nb. Silangkan baca surat Al-Mudattsir sanpai akhir

###

Lari pagi, beberapa kali saya menyempatkan diri untuk itu. mengitari kampus USU, tidak ada yang bisa diajak karena ini terlalu pagi untuk jam biologis manusia masa kini. Udaranya tidak cukup sejuk untuk yang dikatakan suasana pagi, saya yakin 100 tahun lalu kondisinya tidak seperti ini. Di kota kembang juga saya terbiasa melarikan diri ke perbukitan bersama kawan-kawan, suasananya penuh romantika, bukan untuk membandingkan, itulah yang saya alami versi saya sendiri.
Orang-orang tua, muda, kaya miskin, punya budaya lari pagi ba’da subuh, paling tidak ini dilakukan di akhir pekan. Kondisinya pun mendukung, jalanannya sejuk, kendaraan sengaja tidak banyak berlalu-lalang, di atas sana sambutannya pun tak kalah menarik. Pasar di atas bukit, mulai dari mainan anak, susu segar, jagung rebus segar dari pohon dijual dengan harga yang sangat terjangkau. Itu memang lahan pertanian sebetulnya, tapi tiap akhir pekan sengaja orang-orang berjualan di sana sejak subuh karena untuk memanjakan para pelari pagi.
Lagi-lagi Padangbulan punya ceritanya sendiri, terlau kasarkah kalau saya katakana ini disebabkan individualisme manusianya. Masih banyak memang konsep paguyuban dijumpai, tapi tetap saja terlalu jauh dari yang diharapkan. Mungkinkah kita telah menelan bulat-bulat budaya kebarat-baratan yang sebetulnya tidak cocok sama sekali dengan identitas lokal kita. Bukankah budaya orang  kita selaras dengan bunyi asas koperasi “Kekeluargaan dan Gotong-Royong”  bukan “sakarepe dewe” |> (bahasa jawa saya betul gak? Hihihihi…
@@
Itulah cerita subuh dari saya, saya belum terpikir untuk membuat cerita senja, saya khawatir  akan terlalu mellow kalau saya menulis tentang itu.
23/04/2012